-->
Skip to main content

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI SEROLOGI OBJEK 5PEMERIKSAAN GOL. DARAH Rhesus



 LABORATORIUM IMUNOLOGI SEROLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 
2021
OBJEK 5
PEMERIKSAAN GOL. DARAH Rhesus
Tujuan
Mahasiswa mampu mengidentifikasi reaksi aglutinasi pada darah golongan Rhesus
Teori Dasar
Golongan darah adalah deklasifikasi darah dari suatu individu berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan membran sel darah merah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah tersebut. Dua jenis penggorengan darah yang paling penting adalah penggorengan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai. Transfusi darah dari golongan yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi kronologis yang berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian.(1).
 Alasan terbanyak melakukan transfuse adalah karena penurunan volume darah. Transfusi juga sering digunakan untuk pengobatan anemia atau member resipien beberapa unsur lain dari darah(2).
Transfusi darah adalah pemberian darah dari seseorang yang disebut dengan donor. Kepada orang yang memerlukan yang disebut dengan resipien. Dalam proses transfusi darah diusahakan agar aglutinat pada darah donor tidak berjumpa dengan zat antinya yang terdapat di dalam plasma darah resipien. Pada umumnya transfusi darah dapat dilakukan dalam keadaan sebagai berikut : kecelakaan dan tubuh luka parah, tubuh yang terbakar, penyakit kronis, kekurangan darah yang akut, pada saat tubuh kehilangan banyak darah, misalnya pada waktu operasi(1).
Faktor Rh, Pengaruhnya Terhadap Kehamilan
Faktor Rh menggambarkan adanya partikel protein (antigen D) di dalam sel darah seseorang. Bagi yang bar-Rh negatif berarti ia kekurangan faktor protein dalam sel daerahnya. Sedangkan yang bar-Rh positif memiliki protein yang cukup. Pada aman dahulu dalam transfusi darah, asal golongannya sama, tidak dianggap ada masalah lagi. Padahal, bila terjadi ketidak cowokan rhesus, bisa terjadi pembekuan darah yang berakibat fatal, yaitu kematian penerima darah.Orang-orang dengan rhesus negatif mempunyai sejumlah kesulitan karena diselundupkan ini, orang dengan rhesus negatif relatif jumlahnya lebih sedikit. Pada orang kulit putih,rhesus negatif hanya sekitar 15%, pada orang kulit hitam sekitar 8%, dan pada orang asia bahkan hampir seluruhnya merupakan orang dengan rhesus positif. Di Indonesia, kasus kehamilan dengan rhesus negatif ternyata cukup banyak dijumpai. Umumnya dijumpai pada orang-orang asing atau orang yang mempunyai garis keturunan asing seperti Eropa dan Arab, walaupun tidak langsung. Ada juga orang yang tidak mempunyai riwayat keturunan asing, namun jumlahnya lebih sedikit.
1.ketidaksenonohan Rh 
Bilah seorang wanita dengan rhesus negatif mengandung bayi dari pasangan yang mempunyai rhesus positif, maka ada kemungkinan sang bayi mewarisi rhesus sang ayah yang positif. Dengan demikian akan terjadi kehamilan rhesus negatif dengan bayi rhesus positif. Hal ini disebut kehamilan dengan ketidak cowokan rhesus (rhesus komtabilitas).
Kehadiran janin sendiri di tubuh ibu merupakan benda asing, apalagi jika Rh janin tak sama dengan Rh ibu. Secara alamiah tubuh bereaksi dengan merangsang sel darah merah(beristri) membentuk daya tahan atau antibodi berupa zat anti Rh untuk melindungi tubuh ibu
sekaligus melawan ‘benda asing’ tersebut. Inilah yang menimbulkan ancaman pada janin yang dikandung. Efek ketidaksenonohan bisa mengakibatkan kerusakan besar-besaran pada sel darah merah bayi yang disebut blastostil fatalis dan termolisis. termolisis ini pada aman dahulu merupakan penyebab umum kematian janin dalam rahim, di samping drop fatalis, yaitu bayi yang baru lahir dengan keadaan hati yang bengkak, anemia dan paru-paru penuh carian yang dapat mengakibatkan kematian. Selain itu kerusakan sel darah merah bisa juga memicukernikterus (kerusakan otak) dan jaundice (bayi kuning/hiperbilirubinimia), gagal jantung dananemia dalam kandungan maupun setelah lahir.
 2. Risiko Meningkat pada Kehamilan Kedua.
Pada kehamilan pertama, antirhesus kemungkinan hanya akan menyebabkan bayi terlahirkuning. Hal ini lantaran proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang menyebabkan warna kuning pada bayi. Tetapi pada kehamilan kedua, risikonya lebih fatal.Antirhesus ibu akan semakin tinggi pada kehamilan kedua. Akibatnya, daya rusak terhadap sel darah merah bayi pun semakin tinggi dan ancaman kematian janin kian tinggi.
3.Penanganan Kehamilan dengan Kelainan Rh.
Dikarenakan sarangnya kasus kehamilan dengan rhesus negatif, maka sangat sedikit pula rumah sakit yang dapat menanganinya. Untuk itu walaupun tidak ada masalah serius dokter biasanya akan tetap menangani kehamilan dengan rhesus negative secara khusus. Langkah pertama yang dilakukan dokter adalah dengan memeriksa darah ibu untuk memastikan berjenis dan untuk melihat apakah telah tercipta antibodi.Bila belum tercipta antibodi, maka pada usia kehamilan 28 minggu dan dalam 72 jam setelah persalinan akan diberikan injeksi anti-D (Rho) immunoglobulin, atau biasa juga disebutkan. Proses terbentuknya zat anti dalam tubuh ibu sendiri sangat cepat sehingga akan lebih baik lagi jika setelah 48 jam melahirkan langsung diberi suntikan Bogam agar manfaatnya lebih terasa. Sayangnya, perlindungan Bogam hanya berlangsung 12 minggu. Setelah lewat batas waktu, suntikan harus diulang setiap kehamilan berikutnya.Bila dalam diri ibu telah tercipta antibodi, maka maka akan dilakukan penanganan khusus terhadap janin yang dikandung, yaitu dengan monitoring secara reguler dengan ultrasonik. Dokter akan memantau masalah pada pernapasan dan peredaran darah, pencairan-paru, atau pembesaran hati, yang merupakan gejala-gejala penderitaan bayi akibat rendahnya sel darah merah.Bila memang ada zat anti-Rh dalam tubuh ibu hamil, sebaiknya dilakukan pemeriksaan jenis darah janin melalui pengambilan carian ketuban (amnionitis). Dapat juga melalui pengambilan carian dari tulang belakang Horizon Villi Sampling (CVS), dan pengambilan contoh darah dari tali pusat janin (dekonsentrasi). Pada kasus tertentu, kadang diputuskan untuk melakukan persalinan lebih dini, sejauh usia janin sudah cukup kuat untuk dibesarkan di luar rahim. Tindakan ini akan segera diikuti dengan pengantihan darah janin dari donor yang tepat.Induksi persalinan juga akan dilakukan pada ibu yang belum mempunyai antibodi bila kehamilannya telah lewat dari waktu persalinan yang diperkirakan sebelumnya, untuk mencegah kebocoran yang tak terduga.Pada kasus janin belum cukup kuat untuk dibesarkan di luar, maka perlu dilakukan transfusi darah terhadap janin yang masih dalam kandungan. Biasanya bila usia kandungan belum mencapai 30 minggu. Proses transfusi ini akan diawasi secara ketat dengan ultrasonik dan bisa diulang beberapa kali hingga janin mencapai ukuran dan usia yang cukup kuat untuk di induksi. Setelah bayi lahir, ia akan mendapat beberapa pemeriksaan darah secara teratur untuk memantau kadar bilirubin dalam darahnya. Bila diperlukan akan elektroterapeutika. Bila kadar bilirubin benar-benar berbahaya akan dilakukan pengantihan darah dengan transfusi. Kadar carian dalam paru-paru dan jantungnya juga akan diawasi dengan ketat,demikian juga dengan kemungkinan anemia.Perbedaan Rh ibu dan janin tak terlalu berbahaya pada kehamilan pertama. Sebab,kemungkinan terbentuknya zat anti-Rh pada kehamilan pertama sangat kecil. Walaupun sampai terbentuk, jumlahnya tidak banyak. Sehingga, bayi pertama dapat lahir sehat.(4)
 
Pembentukan zat anti Rh baru benar-benar dimulai pada saat proses persalinan (atau keguguran) pada kehamilan pertama. Saat plasenta lepas, pembuluh-pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus. Akibatnya, sel-sel darah merah bayi dapat masuk ke dalam peredaran darah ibu dalam jumlah yang lebih besar. Peristiwa ini disebut transfusi neto-material. Selanjutnya, 48-72 jam setelah persalinan atau keguguran, tubuh ibu dirangsang lagi untuk memproduksi zat anti-Rh lebih banyak lagi. Demikian seterusnya.Saat ibu mengandung lagi bayi kedua dan selanjutnya, barulah zat anti-Rh di tubuh ibu akan menembus plasenta dan menyerang sel darah merah janin. Sementara itu bagi ibu perbedaan rhesus ibu dan janin sama sekali tidak mengganggu dan memengaruhi kesehatan ibu.(5)




 



 Prosedur Kerja
Alat
Pipet tetes, objek gas, tusuk gigi, manset, kapas, dan kaca pembesar.
Bahan
Alkohol 70% (antiseptic), kit besusu (Anti D), darah kapitel atau darah cena. 
Prosedur
1. Bersihkan jari manis bahagian kiri dengan kapas yang telah dibaharui
dengan alcohol.
2. Tusuk dengan manset dengan satu kali utuskan, tetesan pertama
dibuang, dan selanjutnya ditegaskan di atas objek gas.
3. Tetesan diatasi tetesan darah pada objek gas Anti Rhesus
4. Aduk dengan tusuk gigi dengan cara melingkar, amati reaksi aglutinasi
yang terjadi.
Hasil : Terjadi aglutinasi maka golongan darah Rhesus Positif (Rh +)


V.Hasil dan Pembahasan
A. Hasil


B. Pembahasan
Pada pengamatan yang kami lakukan, untuk mengetahui golongan darah rhesus pada manusia kami menggunakan anti D, dan bandusa yang digunakan adalah darah manusia
berjenis kelamin perempuan dan berjumlah 6 bandusa. Pada tabel diatas dapat kita lihat semua anggota kelompok memiliki rhesus positif. Berdasarkan hasil praktis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sistem Keibodan Rh, merupakan dua dari beberapa sistem penggorengan darah yang sangat penting, terutama sebelum melakukan transfusi darah atau pun transplantasi jaringan dan organ. Sistem ini menggunakan interaksi antigen-antibodi sebagai prinsip pemeriksaannya.Apabila suatu antigen (instansi asing) masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan menghasilkan suatu protein yang disebut antibodi. Antibodi inilah yang akan bereaksi untuk melawan antigen tersebut dalam mekanisme pertahanan diri (sistem imun). Sedangkan responden sel darah terhadap adanya instansi asing adalah dengan peningkatan jumlah sel leksikon.Jenis sel leksikon yang meningkat adalah spesifik sesuai dengan infeksi yang terjadi di dalam tubuh.

Pengemasan buruk dan pajanan pada panas dan kelembapan saat dipindahkan dan/atau disimpan dengan tidak tepat, dapat juga merusak kit. 
Kit Antisera untuk reagen penentuan golongan darah umumnya dibuat dari serum darah manusia yang memiliki titer tinggi, walaupun dewasa ini telah diketahui bahwa antisera tersebut juga dapat diisolasi dari jenis tumbuh-tumbuhan tertentu, seperti dari biji Dolichos biflorus dan dari hewan yang diimunisasi. Grade aglutinasi yang dihasilkan oleh serum berbeda dengan reagen anti-sera, karena di dalam serum tidak hanya berisi antibodi tetapi ada komponen yang .Dalam sel darah manusia terdapat aglutinogen yang jika ditetesi dengan anti- sera akan menghasilkan penggumpalan, hal ini terjadi karena di dalam anti-sera terdapat aglutinin spesifik yang sifatnya menggumpalkan ain yang akan mengganggu terjadinya reaksi.
Dalam transfusi darah, penetapan golongan darah merupakan persyaratan yang mutlak di samping persyaratan lainnya. Ketidaksesuaian golongan darah donor dengan golongan darah resipien akan mengakibatkan reaksi-reaksi alergi dan yang paling fatal adalah syok anafilaktik. Ada beberapa sistim penggolongan darah, namun yang terpenting untuk tujuanklinis adalah sistim penggolongan darah ABO dan Rhesus. Menurut sistim penggolongan darah A B O, darah dibagi 4 golongan, yakni golongan A, B, AB dan O; untuk penetapan golongan darah tersebut digunakan reagen yang disebut antisera. Kit Antisera untuk reagen penentuan golongan darah umumnya dibuat dari serum darah manusia yang memiliki titer tinggi, walaupun dewasa ini telah diketahui bahwa antisera tersebut juga dapat diisolasi dari jenis tumbuh-tumbuhan tertentu, seperti dari biji Dolichos biflorus dan dari hewan yang diimunisasi.

Golongan darah adalah deklasifikasi darah dari suatu individu berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan membran sel darah merah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah tersebut. Dua jenis penggorengan darah yang paling penting adalah penggorengan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai. Transfusi darah dari golongan yang tidak kompatibel dapat menyebabkan reaksi transfusi kronologis yang berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian..
 Alasan terbanyak melakukan transfuse adalah karena penurunan volume darah. Transfusi juga sering digunakan untuk pengobatan anemia atau member resipien beberapa unsur lain dari darah.
Transfusi darah adalah pemberian darah dari seseorang yang disebut dengan donor. Kepada orang yang memerlukan yang disebut dengan resipien. Dalam proses transfusi darah diusahakan agar aglutinat pada darah donor tidak berjumpa dengan zat antinya yang terdapat di dalam plasma darah resipien. Pada umumnya transfusi darah dapat dilakukan dalam keadaan sebagai berikut : kecelakaan dan tubuh luka parah, tubuh yang terbakar, penyakit kronis, kekurangan darah yang akut, pada saat tubuh kehilangan banyak darah, misalnya pada waktu operasi.


 


VI. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatasi maka dapat disimpulkan :
1. Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah.
2. Menentukan golongan darah rhesus dapat digunakan carian Anti D.
3. Bagi yang bar-Rh negatif berarti ia kekurangan faktor protein dalam sel daerahnya. Sedangkan yang bar-Rh positif memiliki protein yang cukup.





DAFTAR PUSTAKA
1. Jiwintarum Y, Pauzi I. Pengaruh Waktu Penyimpanan Antisera Terhadap Daya Aglutinasi Metode Slide. 2019;2456. 
2. Temaja et al. PRODUKSI ANTISERUM DAN KAJIAN SEROLOGI CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS ( CVB ). 2010;10(1):80–8. 
3. Rahman I, Darmawati S, Kartika AI, Semarang UM, Semarang UM. PENENTUAN GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN SERUM. 2019;17(1):77–85. 
4. WHO. Deteksi antigen dalam diagnosis infeksi SARS-CoV-2 menggunakan imunoasai cepat. 2020;(September). 
5. Mariko R, Alkamar A, Putra AE. Uji Diagnostik Pemeriksaan Antigen Nonstruktural 1 untuk Deteksi Dini Infeksi Virus Dengue pada Anak. 2014;16(2):121–7. 


LAMPIRAN

Buka Komentar
Tutup Komentar